0

Dosa ini begitu indah part 1

Dosa Ini Begitu Indah



 “poto bedua dong! Kenang-kenangan nih!!” ucab Sandi dengan keceriaannya merayakan kebahagiaan melepas seragam SMA.

 Dengan polos aku berfose poto ama Sandi bedua. Teramat dempet sekali. KRIK!!! Aku dan Sandi tersadar kalo posisi kami teramat dekat. Dengan senyum polos aku menatap Sandi. Sandi pun begitu. Kami berdua bertabrak pandang..

 “oouppss sori!” aku melangkah mundur.

 “nggak papa Fa! Ohh iya kita gabung kesana yuk!” Sandi memegang tanganku. Aku dengan pasrah mengikuti langkahnya menuju kerumunan ramai siswa-siswa yang lain.

 Diam, aku menatap Sandi dalam, sepertinya inilah saatnya. Saatnya aku menyatakan sesuatu yang semestinya tak perlu aku ungkapkan. Sesuatu yang semestinya aku biarkan saja menggumpal menjadi hiasan dalam hatiku. Sesuatu yang seharusnya aku pendam lebih lama lagi dari sebelumnya. Sesuatu yang memang  benar ini perasaan yang salah yang harus aku tahan lama lagi hingga waktunya tiba, hingga waktu tak tahan lagi menunggu aku mengucapkannya. Tapi ini sudah terlalu lama, cukup lama dan aku pun tidak tertahan lagi menahannya lagi-lagi dan lagi. Karna aku tau ini begitu menyakitkan. Berkali-kali aku harus tersiksa dengan perasaan yang menggantung ini, perasaan yang aku pun tak tau pasti apa ini. Aku tertunduk sebentar, menahan-nahan menunggu dan menunggu hingga Sandi menyatakan sesuatu dipenghujung SMA ini. Tapi hingga sekarang pun Sandi tak menyatakan itu. Selalu aku membiasakan hatiku berprasangka baik terhadap Sandi. Selalu pula aku menegaskan dengan diriku sendiri kalo Sandi juga menyukaiku. Namun itu salah besar, sepertinya Sandi tidak menyukaiku sama sekali.

 “Sandi!!” aku balas menarik tangan Sandi pelan. Dengan terpaksa aku harus mengatakannya sekarang juga! Setelah aku mengatakannya terserah dengan Sandi ingin berbuat apa dengan perasaanku ini. Karna memang aku tersiksa dengan perasaan yang menggumpal penuh ini.

 “ya?”  Sandi menghentikan langkahnya.

 Aku menghela nafas panjang. Sorot mataku pun melayang-layang kekiri kanan dan keatas bawah. Aku berpikir sejenak. Lalu aku tertunduk. “ini terakhirnya kita bisa ketemu!” karna memang aku kuliah diluar kota dan kedua orangtuaku pun ikut aku pindah kesana.

 “oohh iya ya! Kalo gitu kita puas-puassin poto dong!” ucab Sandi sama sekali tidak mengerti ucapanku itu. Jujur aku sengaja mancing Sandi biar Sandi nyatain sesuatu sebelum tiba saatnya aku harus kembali ke kota asalku.

 Aku senyum terpaksa. “maksud aku….. Kamu nggak mau ngelakuin sesuatu gitu? Atau ngomong apa kek buat terakhir kaliny!” terdengar suaraku tidak beraturan lagi.

 “hmmmm… Apa ya?”

 “……”

 “ohh iya ada!” Sandi diam sebentar. “aku pasti bakallan kangen banget ama kamu! Jangan lupa ya ama aku!!” lanjutnya dengan senyum manis.

 Rasa tegang dalam hatiku pun hilang, sirna. Sekarang aku menyadari kalo Sandi memang tidak merasakan sesuatu sedikitpun dengan aku. Sandi tidak menyukaiku. Segenap tenaga aku luapkan, aku menjerit pean dalam hati “SANDI TIDAK SUKA KAMU SYIFA!!”

 Sesegera mungkin aku melepas tangan Sandi, dan melepas genggaman Sandi. Aku menatap sekelilingku mencoba mencari celah biar raut wajahku yang penuh kecewa ini tak terbaca oleh Sandi.

 Sandi menatapku heran. “kamu nggak ngejawab nih! Apa artinya kamu bakal lupa ama kita semua disini Fa? Jangan dong!” raut wajah Sandi penuh tanya.

 “eeehhmmm” sesekali aku senyum kepaksa ama Sandi. “yaa.. Enggak mungkinlah!”

 “ya uda deh! Yuk kita gabung kesana!” ajak Sandi lagi, karna memang kami berdua keliling-keliling kelas dan itu jauh dari kerumunan siswa yang lain.

 Tak tertahan lagi.. Perasaan ini sudah tak bisa aku tahan lagi. Aku lelah menahan-nahan dan menunggu-nunggu perasaan ini. Lalu apa arti dari semuanya ini San? Aku tak mengerti, kau seolah menyukaiku tapi kenapa? Kenapa malah kau sama sekali tidak menyukaiku? Batinku memaksa mengatakan sesuatu sekarang dan ini nggak boleh ditunda lagi. Ini sudah lama menggumpal jauh dari sebelum aku dekat dengan Sandi. Lama sebelum Sandi mengenalku. Dan ini saatnya aku mengatakannya. Perasaan ini pun sudah lelah bercampur dalam hariku, bercampur dengan prasangka-prasangka buruk akan Sandi. Aku lelahh!! Aku ingin mengatakannya sekarang juga! Dengan segenap keberanian yang sudah aku pupuk dari lama-lama, aku berucap pelan..

 “dari dulu,, aku nungguin kamu bilang suka ke aku San!” ucab aku pelan menatap Sandi.

 Langkah Sandi terhenti dan menoleh kebelakang, kearah aku tegak diam menatapnya dari belakang. Aku tertunduk, Sandi mendekat ketempat aku tertegak mematung.

 “Syifa? Ngomong apa kamu?”nada suara Sandi meninggi.

 “sudah lama semestinya aku berkata ini! tapi nyaliku cukup kecil untuk menyatakannya! Aku selalu nunggu kamu!”

 “Fa… Ngomong apa kamu?” Sandi sepertinya tidak mengerti.

 “aku hargai, perasaanmu sebatas teman dengan aku. Tapi aku minta kamu juga hargai perasaanku yang lebih dari sebatas teman!!” ucabku tertunduk kaku.

 “tapi Fa…..”

 “sekali lagi, aku menyukaimu Sandi Putra Adilla!” ucabku pelan lagi namun sama sekali aku tak berani menatap mata Sandi. “maaf!”

 “Sayang!!” Tiba-tiba Ariska pacar Sandi datang dari belakangku. Mataku tak mampu untuk menahan tatapan kearahnya. Riska merangkul lengan Sandi. Aku sama sekali tidak menyukai tindakan Riska itu. Karna semestinya akulah yang berada diposisinya, akulah yang sepantasnya merangkul lengan Sandi. Diam… Hening….. Sunyi…. Selalu saja perasaan ini mampu ngalahin kenyataan, kenyataannya Sandi ada yang memiliki.

 Lagi-lagi aku diam, Sandi pun diam menatapku dalam, Riska pun begitu. Tak mampu lagi aku melanjutkan kata-kata busuk dariku, kata-kata yang sangat dosa jika aku meneruskannya lagi. Yang sangat salah jika aku membiarkan dan memanjakan hati ini terus berada dalam cinta yang salah, yang sesat. Cinta yang semestinya tak pernah ada dan tak perlu ada antara aku dan Sandi. Riska baik, ramah dan perhatian. Dia lebih dari aku. Wajar kalau Sandi milih dia. Bukan masalah perbedaan tapi cinta… Aku sadar, nggak ada yang bisa nyalahin perasaan. Begitupun aku, aku nggak sewajarnya menyalahin perasaan Sandi yang teramat besar ke Riska. Begitupun Sandi dan Riska, mereka nggak patut nyalahin perasaanku ke Sandi. Karna memang CINTA itu milik semua orang dan nggak ada yang bisa ngelarangnya.

 Riska tersenyum. “sayang, kesana yuk!” ajak Riska manja. “ohh iya Fa! Kesana juga yuk! Kita poto bareng, kamu kan mau keluar kota! Yuk!!”ajaknya lagi ke aku.

 Aku termenung mendengar ajakan ramah Riska. Riska nggak pernah curiga ataupun cemburu sedikitpun dengan cewek yang lagi bedua ama Sandi. Bukannya nggak sayang atau apa, tapi memang Riska pengertian.  Dan selalu menganggap semua teman Sandi adalah bagian dari diri Sandi.

 “ahh nggak usah deh Ka!” aku menatap Sandi dalam-dalam sekali. Butiran air mataku sudah menggumpal penuh di kelopak mataku. Sudah tak tertahankan lagi rasanya. Aku menunduk menahan air mata ini yang aku sangat yakin akan menetes didepan Sandi dan Riska. Aku berbalik badan, menghapus air mataku yang secepat itu sudah menetes dipipiku. “aku musti balik cepat, sore ini aku musti berangkat keluar kota! Semoga langgeng ya hubungan kalian!” air mataku menetes lagi, aku melangkah pelan. Berharap Sandi menghampiriku dan memeluk aku, sekali saja.

 “wahh,, calon buk dokter UI. Selamat kuliah disana ya! Makasih ni atas doanya!” ucab Riska ramah sekali.

 Aku hanya diam mendengar ucapan Riska itu. bibirku pun dengan kepaksa tersenyum kecil. Tapi aku masih menunggu dan berharap Sandi melepas rangkulan Riska lalu menghampiriku, memeluk aku hanya sekali ini saja. Sekali ini dan untuk terakhir kalinya.

 “Ta.. Tapi Fa!!”

 “sayang, kalo mau ngampirin Syifa ya udah gih!! ntar sore dia mau pergi! Ini terakhir kali kamu bisa ketemu ama dia. Secara temen deket kamu, gitu!!” Riska memberi kebebasan ke Sandi, karna emang Sandi itu adalah temen deket aku.

 “aku cinta kamu sayang!” ucab Sandi menatap Riska.

 Aku mendengar itu, sungguh aku terbuai dalam kebaikan Riska. Nggak mungkin aku membalas kebaikan Riska itu dengan menusuknya dari belakang! Nggak! Alangkah jahatnya aku kalo aku sampe bersikap gitu dengan Riska. Akupun mempercepat langkahku kearah gerbang sekolah. Dengan susah payah aku menjauh dari Sandi dan Riska. Karna niat baik Riska lah yang membuat aku sadar, Sandi nggak mungkin suka dan membalas suka ke aku! Karna Riska lebih dari segala-galanya . aku melepas sepatu hak, aku berlari sekuatnya menuju taksi yang sudah banyak berjejer didepan gerbang.

 “Syifa!!!” teriak Sandi.

 Aku tetap berlari, karna aku nggak mau perasaan ini semakin menggebu ke Sandi. Aku takut dosa atas perasaan ini, aku takut Riska marah kalo dia tau ini.

 “SANDI” jerit seseorang lagi… “Riska pingsan sembari kamu berlari !!!”

 Sandi terhenti, aku pun juga ikut terhenti. Namun aku nggak berani menoleh kebelakang. Aku ngerasa bersalah atas ini. Aku dosa, dosa besar udah narik Sandi buat ngejar aku. Namun apa daya, semua udah terjadi. Aku sempat khawatir dengan teriakan dari orang itu. Aku khawatir dengan Riska, ada apa dengan Riska. Aku pun hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Bertanya-tanya yang entah siapa yang akan menjawabnya ini.

 “Sori Riska…” ucabku merasa bersalah, tetap dalam tegak diam ku.

 “Tuhan….. Sadarkan Riska dari pingsannya itu! sembuhkan ia jika ia ada penyakit!”  aku melanjutkan langkah ku lagi. Namun kali ini aku tak pernah berharap lagi Sandi akan mengejar ku, karna aku yakin dia sudah jauh dibelakang sana melihat Riska dengan tampang yang begitu khawatir. Aku pun sama sekali nggak bisa ngelarang Sandi untuk melakukan hal yang benar. Yaitu lebih mementingkan Riska dibanding aku.

 Sorepun telah datang. Aku sudah sangat siap dengan ini semua. Dengan kenyataan bahwa aku hanya bisa berharap dan berharap. Dan aku pun tidak akan menyalahkan siapapun begitupun perasaan, aku nggak akan pernah menyalahkan perasaan ini. Hanya waktulah yang salah, mempertemukan aku dan Sandi di saat yang sangat tidak tepat. Aku tersenyum mendengar ucapan tegasku itu. Dengan semangat aku mencoba membuka lembaran baru, dengan semangat aku siap berkata jika aku punya dunia baru, dunia baru di Jakarta yang sudah menunggu aku. Tanpa Sandi juga tanpa Riska, dan satu lagi, tanpa cinta yang keliru, tanpa perasaan yang menggumpal.

 “Dek!! Udah siap kan? Yok kita berangkat!” panggil mama dari bawah.

 Aku tersenyum. Namun tak lama, aku kembali lagi meneteskan air mata. Aku kembali lagi harus sadar kalo aku harus segera ninggalin semua kenangan disini. Sandi, aku harus ninggalin dia. Meskipun aku tau Sandi merasa sangat biasa-biasa saja atas kepergianku ini.  “tuhan tolonglah aku! Buang perasaan ini. Ini cinta yang salah, ini cinta yang penuh dengan dosa. Aku mohon!! Bantu aku lupa dengan perasaann yang sesat ini!” ucabku dalam hati. Lagi-lagi mata ini tak sanggup menahan butiran air mata yang memang sudah tidak bisa aku bending lagi.

 “Syifa!! Ayo nak!! Ntar kita ketinggalan pesawat!” panggil mama lagi.

 Suara mama membuat aku terpaksa melakukan gerak kaget dan menghusap air mataku. “ahh iya ma!” jawabku segera bangkit dari diamku. Dari tangisku yang takkan mungkin bisa mengubah semua seperti semula. Aku beranjak mempercepat langkahku turun kebawah. Mencari-cari kesibukkan agar sejenak lupa dengan apa yang sudah aku pikirkan sedari tadi. Aku mengecek semua bawang-barang penting dan menjadi bagian dari hari-hariku. Tak lupa aku mengecek berulang kali foto yang akan segera kusam. Foto aku dan Sandi saat kami lagi belajar kelompok dirumahku. Foto yang nantinya hanya akan menjadi kenangan dan hanya kenangan.  LENGKAP sudah!!

 Dalam perjalanann menuju bandara. Mataku tak henti-hentinya melirik handphone yang tergeletak tak bersuara. Aku menunggu dan menunggu saatnya tiba. Aku menunggu Sandi sms. Atau bahkan aku masih berharap Sandi ada dibandara itu sekedar mengucap selamat tinggal. Lama mataku melirik, tak ada tanda-tanda Sandi sms. Namun aku masih ada satu harapan lagi. Aku berharap Sandi ada dipintu masuk bandara. Yaa itu harapan aku terakhir kalinya. Dengan langkah gontai aku mendekat ke pintu masuk bandara. Dengan perasaan deg-deggan aku menoleh ke kiri dan kanan. Mencari-cari celah akan bertatap pandang dengan Sandi lagi. Mencari-cari celah dimana aku bisa melihat Sandi untuk terakhir kalinya. Karna aku pun tak pernah tau kapan aku bisa bertemu dengan dia lagi. Melainkan memang tuhan mengizinkan kami bertemu lagi dilain waktu. KOSONG!! Aku nggak menemukan Sandi sama sekali. Mataku tetap menatap setiap sudut didepan bandara itu tapi hasilnya nihil. Aku nggak nemuin Sandi sama sekali. Tertunduk aku diam. “ahh sudahlahh ! memang Sandi nggak akan datang kesini!!” ucabku murung.

 “dek! Kita harus segera masuk kedalam! Nggak ada yang mau kamu tunggu kan?” ucab papa ramah sekali.

 Aku semakin termenung! Hatiku berkata beda-beda. Masih sempatnya aku beprasangka baik dengan Sandi. Masih berbaik hati aku member dia toleransi. Mungkin saja dia sebentar lagi datang! “ma, pa! Syifa masih nunggu temen! Bentar aja pa, nggak papa kan?” pintaku dengan tampang memelas.

 Papa dan mama hanya mengangguk.

 Aku berjalan gontai menyusuri pintu awal bandara yang cukup luas ini. Mataku tak henti-hentinya menyusuri setiap sudut bandara. Mencari-cari sosok yang selalu aku nanti hadirnya. Menanti sosok yang hanya terkhir kalinya saja aku ingin melihatnya. Sekali ini saja, hanya terakhir ini saja. Aku ingin memeluknya. “Tuhan… Dosakah aku? Salahkan aku?” Cepat-cepat aku membuang perasaan jelek ini. cepat-cepat aku kembali konsentrasi mencari-cari sosok yang sudah teramat aku mengenalnya. Sudah kenal akan bau harumnya, sudah sangat hafal dengan hembusan nafasnya. Huhh,, begitu dalamnya aku mengenal sosok itu. Namun, sangat disayangkan. Dia sama sekali tidak mengenal aku sedalam itu. Konsentrasiku buyar seketika, saat aku menyusuri semua pandangku namun kosong. Diujung mataku memandang namun hampa. Aku tak melihat sosoknya lagi. Apa mungkin aku bisu akan semuanya tentang dirinya. Apa iya aku mati rasa dengan kehadirannya disini? Ahhh benarkah aku sudah mati terhadap dirinya? Benarkan karna perasaan yang mencampur ini aku menjadi tidak mengenal dirinya sama sekali. Bahkan sosoknya pun tidak aku lihat disini, bau harumnya pun tidak aku cium semerbaknya. Yaaa aku benar-benar bisu akan dirinya, aku mati rasa akan kehadirannya.

 Suara handphoneku tiba-tiba bunyi. Dengan semangat aku lagi-lagi berprasangka baik. Sandi yang menelpon aku. Dengan semangat aku rogoh kantung celana jinsku. Mataku berbinar-binar menatap layar handphoneku. ‘Mom memanggil’ dengan tampang melesu aku mengabaikan telpon mama. Karna aku pun sudah tau, mama menyuruhku untuk segera datang menemuinya. Dengan langah gontai aku berjalan menuju tempat mama dan papa berdiri. Dalam perjalanan kesana, lagi-lagi handphone ku bunyi, tanpa aku lihat lagi aku sudah sangat yakin kalo itu mama yang nelpon. Dengan cepat aku melangkah kepintu bandara masang tampang cemberut. Sandi nggak datang!

 Sesampainya didalam pesawat. Dengan tampang muak dan kesal aku menyerahkan handphone ke mama. “Mama aja yang pegang handphone Syifa ya!”

 “dek, ada panggilan tak terjawab nih!” mama menyerahkan handphoneku.

 “iya udah tau ma! Langsung matiin aja deh ma!”



 Aku terdiam lagi. Menatap kedepan dengan tatapan kosong. Hampa… Sepi yang ada. Aku merasa sangat asing dengan tempat ini, Jakarta. Aku asing dengan kota ini. aku tidak mengenalnya sama sekali. Jiwaku begitu dekat dengan Bandung. Aku begitu cinta Bandung dan suasananya disana. Aku merasa sangat dekat dengan semuanya di Bandung. Sedangkan disini, apa yang aku kenal? Apa yang aku ketahui? Apa yang dekat dengan aku? Huh.. Hanya bangunan tinggi yang aku kenal, hanya bangunan penuh dengan kemunafikkan yang aku tahu, dan hanya sepi yang dekat denganku sekarang ini. Aku sudah mati rasa akan kota dan suasana disini. Aku nggak akan bisa hidup disini! Perasaan ini begitu menyatu dalam hatiku, dan ini nggak akan pernah bisa aku pisahkan.

 “dek..” suara mama memecah lamunan kecilku disudut jendela kamar baruku. “kamu beresin semuanya ya! udah gitu kita makan keluar!”

 Aku nggak menjawab. Aku hanya memalingkan muka kearah mama dan menunduk lesu.

 “ohh iya!” sepeninggal mama akan beranjak keluar dari kamarku. “ini handphone kamu!”

 Aku terdiam menatap mama kosong. Pikiranku melayang-layang, aku terpikir Sandi lagi. “Mungkinkah panggilan tak terjawab tadi adalah Sandi? Mungkinkah ia? Tapi… Sudahlah!! Jangan pernah berprasangka baik lagi dengan keadaan yang selalu aku tujukan ke Sandi!! Seharusnya perasaan ini telah mati, bersamaan pula dengan matinya sikap baik Sandi ke aku!! Yaaa!!” ucabku dalam hati.

 “heii !! ini!!!” mama menyerahkan handphone ketanganku. Mama menatapku dengan teramat heran. Dengan sikap yang sebentar-bentar melamun.

 Rasaku tak mampu menahan ini, sedemikian mungkin aku menahan prasangka baik ini tapi semakin aku ingin tau yang sebenarnya. Aku semakin ingin tau apa jawaban dari tanya kecilku dalam hati tadi. Aku nggak sabar ingin melihat handphoneku, perasaan menggebu hadir lagi. Dengan buru-buru aku langsung mengaktifkan handphoneku ini. Dan LAMA!!

 “ma, siapa panggilan tak terjawab tadi?” perasaan penasaran itu semakin menggebu.

 “kalo nggak salah….” Mama berhenti sebentar sambil mengkerutkan keningnya. Aku berdebar, disini aku mulai lagi berharap kalo emang Sandilah orangnya. “Sandi deh!” ucab mama sambil lalu.

 Sontak mataku menatap mama tajam. Dengan cepat aku membuka handphoneku, dan ternyata benar. Sandi tadi nelpon aku. Tuhann!!!! Aku terduduk lemas, aku ternyata bodoh. Saat aku pikir itu mama yang nelpon ternyata itu adalah Sandi. Itu bukan mama. Bodohnya aku!!

 5 pesan diterima

 From  :  Sandi

 To  :  Syifa

 “hati-hati Syifaku! Aku yakin dilain waktu kita akan bertemu lagi! Selamat menempuh hidup barumu disana. Selamat menjadi dokter, rawat aku ya kalo aku sakit nanti! Kuliah yang bener ya, calon buk dokter. Percayalah aku merindukanmu disini!! Kapan-kapan main lagi ya keBandung! Aku tau jiwamu disini Fa!! Salam Sandi ”

 3 pesan isinnya sama, dan 2 pesan lainnya isinya beda.

 From  :  Sani

 To :  Syifa

 “kata-kata menyukai. Apakah benar itu? benarkah kamu ? Syifa, maaf. Mungkin kamu selama ini merasa terabaikan. Tapi ketahuilah aku selalu mencoba jadi yang terbaik untuk kamu. Sebenarnya ada satu hal yang ingin aku katakan jujur dengan kamu. Dan sebenarnya pula aku ingin mengatakannya ini langsung bertatap muka dengan kamu. Tapi apa daya, semua sudah terlambat. Kamu udah pergi disana. Dan aku sangat yakin kita bakallan bertemu lagi. Karna aku percaya takdir tuhan. Tunggulah saatnya aku mengatakan sesuatu itu ya Fa! Bukan maksud aku ingin menyiksa kamu untuk menunggu dan menunggu lagi aku mengatakannya ke kamu. Aahh Sudahlah!! Kini kita berbeda tempat. Jalani semuanya dengan senyum ya Syifaku. Aku yakin kita bisa kok!! Sampai bertemu lagi suatu saat nanti. AKU SELALU MERINDUKANMU DAN AKU MENUNGGU KAMU KEMBALI KESINI. Salam Sandi”

 From :  Sandi

 To  :  Syifa

 “aku datang. Hanya saja waktu nggak memberi aku kesempatan menatap kamu tadi. Maaf, semua salahku. Selamat jalan Syifa! Aku akan merindukanmu”.

 Lima pesan itu berhasil membuat aku tertegun dan semakin tertegun jauh.  Ternyata Sandi datang. Aku diam dalam kesunyian dan kehampaan. Lagi-lagi aku mengeluarkan butiran air mata yang tak sepatutnya aku keluarkan. Karna aku begitu cengeng. Aku begitu lemah. Baru baca pesan dari Sandi aja aku udah mulai luluh lagi. Padahal seharusnya aku tau, Sandi udah bikin aku lebih tersiksa menunggu dan selalu menunggu satu kata yang tak pasti dari dirinya. Sampai sekarang pun aku tak pernah mendengar satu kata itu. Aku tuli akan satu kata itu. “selamat tinggal Sandi. Aku disini akan lebih merindukan kamu. Tapi ketahuilah aku nggak akan terus memendam perasaan ini. Aku lelah San! Aku capek dengan semua yang udah kamu lakuin ke aku. Menggantung semua perasaan ini. Aku akan melupakan kamu!!!Yaahh ! itu lebih baik daripada aku terus memendam dan memendam perasaan ini lebih lama lagi. Selamat tinggal cintaku!” ucabku lirih sambil meneteskan air mata. Aku mengeluarkan kartu handphoneku dan secepat mungkin aku mematahkan kartu itu. “Ini adalah akhir dari dosa yang udah aku perbuat ke Riska dan kamu San! Aku akan menjalani hari-hariku tanpa kamu San! Tanpa kamu dan tanpa kamu!! Namun begitu indah dosa ini untuk dihilangkan San”



 Malam ini, tak seperti biasanya. Bintang yang biasanya aku masih melihat kecerahannya namun malam ini hilang tanpa berbekas. Semuanya hilang, seiring dengan hilangnya aku dari Bandung. Lamunanku kini datang lagi, aku termenung sejenak sambil menatapi ruang kamarku, hening yang aku dapat. Tatapan kosong yang aku lihat. Aku melangkah menuju ruang luar angkasa. Aku beranjak menatapi langit-langit diatas sana. Bintang yang biasanya aku temui dijam-jam seperti ini namun malam ini sama sekali tidak tampak kecerahannya. Bahkan keramaian bintang pun nggak aku lihat disisi manapun dilangit. Langit terlihat tampak bersih malam ini. Sepi…. Aku merasakan kesepian yang teramat dalam malam ini. Sejenak aku biarkan memoriku memutar dengan sendirinya didalam fikirku. Rasanya aku ingin terus mendengar dan mengingat kejadian tadi siang. Aku terlalu terbawa dengan kejadian itu. Aku terlalu mendalam akan kejadian singkat itu. aku terlalu meresapi.

 Heningnya malam ini memaksa aku lagi membuka semua album foto yang sudah aku simpan dalam lemariku, yang sudah aku biarkan untuk berdebu. Perlahan namun pasti aku membuka setiap lembar poto itu. Terlihat jelas keceriaan-keceriaan saat aku masih berada disana bersama Sandi. Namun kini, aku harus bangkit dari keterpurukanku, dari tegak berpakuku menunggu dirinya. Aku harus mengenyahkan dirinya dari hidupku. Karna aku tak mampu lagi dengan kondisi yang sangat sulit aku mempertahankannya.

Lagi-lagi aku menatap poto Sandi yang masih terbingkai rapi dimeja belajarku. Ku pandangi dengan seksama. Terlihat keceriaan dari dirinya. Aku tersenyum simpul. “Untuk terakhir kalinya aku menatap potomu ini San, selanjutnya akan aku simpan didalam lemari dan akan aku biarkan itu berdebu. Karna memang semestinya perasaan ini biarlah berdebu dan tertutupi dengan tebal  lalu akan menghilang dengan sendirinya.” Ucabku serius. “Sandi, cinta ini adalah dosa, namun dosa ini begitu indah San!!”  aku tersenyum sinis menatap poto Sandi yang tersenyum manis.  “begitu indah untuk dilupakan, karna cinta ini telah terlanjur tertuju ke kamu. Indah namun ini tetap saja dosa!”

Kini izinkan aku melepas semua tentangmu Sandi! Biarkan aku membuka semua lembaran baru dalam hidup baruku ini. Dan jangan pernah ganggu aku lagi dengan ketidakpastianmu itu. karna aku terlalu lemah dan mudah lelah dengan kondisi ini. Kondisi yang sangat sulit ini. Aku mencintaimu Sandi, namun sekarang akan aku hapus perasaan ini. Akan aku biarkan ini semua berlalu dan menjadi butiran air yang tak berdaya lagi. Hingga lama kelamaan butiran itu hilang dengan sendirinya. Harusnya dulu kamu pergi dari fikirku San, jangan pernah maksa aku buat ngilangin kamu. Karna aku sudah tau akhir dari usahaku ini, aku akan dapat hasil akhirnya NOL. Namun kini aku tau, aku bertahan menunggu kamu pun aku bisa. Dan sekarang aku yakin aku sangat bisa menghilangkan segenap rasa yang masih menggumpal menjadi darah dalam tubuhku. Aku akan melupakan kamu. Walaupun sekali lagi, semua ini adalah dosa. Namun ini adalah dosa yang begitu indah.

 


















0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top