0

Kita, 24 Bulan Setelah Berpisah

Meski sempat tertatih berjalan lusuh di tempat usang nan sepi, aku pun sampai di persinggahan akhir. Semua karenamu atau bahkan karena diriku sendiri. Aku berjalan sendiri menata hati dan cerita baru di lembar putih baru yang masih kubiarkan bercak-bercak tentangmu menempel dengan acak di dalamnya. Sedang kamu merangkai cerita baru nan menyenangkan di banding aku yang masih bertahan sendiri dengan sejuta harapan akan kembali padamu, namun kamu tidak lagi. Aku sampai di persinggahan akhir, dimana aku harus bisa mengikhlaskan kepergianmu.

Aku tau kamu, sedari kejauhan jarak antara kita, kamu kadang mencari tahu kabarku lewat orang-orang terdekatku. Sampai ke telingaku bahwa kamu bertanya apakah aku masih marah padamu?  Tak terjawabkan olehku hingga berkali-kali kamu bertanya dengan orang yang berbeda dan kamu pun bisa menjawabnya sendiri. Kadang aku berfikir, alangkah berdosanya aku memendam amarah hampir 2 tahun atas dasar cinta. Manusiawi, namun dibenci oleh Tuhan. Sebab dengan memaafkan, mungkin aku bisa lebih lega, lebih bisa mencintaimu dengan tenang tanpa amarah. Aku sakit jika tidak memaafkanmu tersebab cinta yang terlalu.

Hari ini, hari dimana aku merindukanmu dengan teramat. Aku bisa merasakan kehadiranmu sangat dekat walau hanya dalam mimpi-mimpiku saja di hampir setiap malam ketika aku merindukanmu. Aku selalu disiksa dengan cerita-cerita di alam bawah sadarku tentang kamu, tentang aku, tentang kita yang dibuat oleh khayalanku belaka.

Sampai pada kalimat yang sudah bisa aku duga sebelum kita berpisah, kalimat itu pun terucap olehmu untukku. Kamu hadir lagi dengan membawa dugaanmu sendiri bahwa hatiku sudah sembuh darimu. Jantungku berdegup memang, tak sama rupa degupnya dengan ketika kamu menghubungiku dengan kalimat-kalimat sayang. Hanya 3 kata dengan diakhiri tanda tanya di belakangnya. "Kamu apa kabar?"

Terasa canggung ketika kubaca berulang kali kalimat itu. Lidahku seperti sudah biasa dimanjakan dengan kalimat-kalimat cinta dan panggilan sayang olehmu. Sekarang, hanya 3 kata keji, "kamu apa kabar."

Perasaan ingin membalas, namun juga ingin mengabaikannya mengingat kamu dulu sempat mengabaikanku di tengah kita menjalin kasih. Rasa ingin membalas dengan penuh pengabaian sepertimu dulu, namun tidak. Sebagai pembuktian persetujuan maaf yang selalu kamu pertanyakan sendirinya. Kubalas itu dengan 1 kalimat saja, "baik." Menurutku itu saja cukup sebagai awal.

Padahal aku ingin sekali memperkenalkan kamu kepada rindu. Menceritakannya kepadamu, lelaki pemilik rindu itu. Sedang 3 kata keji itu bisa apa untuk membuat aku tak bungkam memberitahumu soal rindu, mengajakmu sedikit kembali dimana aku dengan terang-terangan mengungkap rindu padamu. Sebab aku tak punya alasan untuk membawa rindu padamu, sebab aku saja tak cukup untuk bisa membuat kamu juga merasakan yang sama.

Kita sudah jauh melangkah sebagai sepasang mantan kekasih yang susah untuk menjalin hubungan baik sebagai teman, memulai kisah pertemanan dari nol. Akulah memang yang salah, terlalu mencinta hingga susah lupa. Terlepas dari canggung atau tidaknya itu hanya dirasakan olehku sendiri, hingga seolah-olah kamu pun terlihat sama denganku.

Hey, sudah 24 bulan rupanya kita tak bertegur sapa...

Kepada rindu yang entah harus aku hapus dengan apa, semoga kelak bukanlah penghapus yang aku temui. Namun lelaki lain yang memiliki energi rindu yang lebih besar darimu.

Kepada cinta yang tak ada habisnya hingga sekarang, semoga aku masih bisa diizinkan mencintaimu dari kejauhan dan diam seperti ini. Sampai nanti aku jatuh sejatuh-jatuhnya dengan lelaki yang berhasil membuat aku jatuh cinta lagi dan berhasil melupa.


0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top