Kamu masih ingat? Ketika kita sama-sama saling mengingatkan untuk sholat? Ketika kamu bercanda akan mengimamkan aku dari kejauhkan yang tiada bisa ditrawang oleh mataku? Aku masih ingat hingga saat ini, kawan. Terkadang aku tersenyum menertawakan tingkahku yang dengan gelinya mengkhayalkan kamu saat ini berada tepat dihadapanku. Kuyakinkan diriku aku tiada bisa berbuat apapun selain tersipu malu dan tertunduk kaku. Salah tingkah.
Kamu masih ingat? Ketika kita mengkhayalkan dan membicarakan pertemuan-pertemuan kedua kita? Bercerita satu sama lain dan aku tak segan menceritakan seseorang yang tiada pernah kamu mengenalnya. Ya, orang itu adalah dia, yang sedari awal tertulis diatas. Orang itu adalah dia, yang berhasil membuat rasaku menjadi istimewa. Hingga kamu pun hadir, dia masih saja bertengger sesuka hati direlung ini. Aku senang kamu bersikap sebagai pendengar yang luar biasa baik dan penasihat yang bijak, padahal kita bukanlah teman yang sudah sedari sana akrab untuk menceritakan satu sama lain. Sebut saja kita benar-benar saling mengenal lewat sosmed.
Terkadang aku bisa merasakan getaran yang berbeda ketika membaca pesan-pesanmu, pesan-pesan penuh makna untukku. Dan ketika itu, aku bisa sejenak lupa padanya, memfokuskan diri dan berbangga hati bahwa aku memiliki kamu dari kejauhan meski dunia mencatatnya kamu hanyalah sebatas teman, sahabat yang tak sengaja Tuhan pertemukan.
Berjalannya waktu, tak urung Tuhan semakin mendekatkan juga membuat kita semakin jauh. Jarak mungkin memang sedikit mendekatkan kita, hanya saja komunikasi kita yang saat ini sudah tidak bisa dijamah lagi. Kamu kuliah di Jakarta, dan aku tau jarak kita sudah dimudahkan oleh Tuhan untuk bisa melakukan pertemuan singkat kedua. Tapi komunikasi? Kita bahkan sudah disibukkan dengan rutinitas sendiri-sendiri, bahkan aku pernah melupakanmu dan tidak menganggapmu ketika aku tau aku berbahagia disini dengan dia, dia yang sedari dulu melegakan hatiku. Mungkin kamu tak sadar, dan akulah yang kini sadar, aku bodoh dulu tidak begitu serius dengan kedekatan kita yang memang mungkin hanya sebatas sahabat menurutmu namun kuyakini kita lebih dari itu.
Kita melangkah sendiri-sendiri, bukan tidak saling mengenal hanya saling mendukung meski tak diperlihatkan, saling memperhatikan hanya disembunyikan, saling peduli hanya tak tampak, saling merindukan, ahh mungkin hanya aku yang begitu merindukan komunikasi kita yang bergitu lancar ketika di akhir-akhir di SMA tidak denganmu. Hingga suatu ketika, saat dimana aku menjadi milik dia, aku bisa sampai pada rasa kerinduanku padamu, mas. Iya, mas, aku biasa menyebutmu dengan panggilan mas Reyno. Entahlah, aku bisa menangkap hal yang berbeda darimu dan dirinya. Perbedaan yang jelas terlihat dengan mata dan rasa.
Menikmati kebahagiaanku dengan dirinya, kamupun hadir dalam sela-sela sendiriku yang terkadang aku merasa sepi, membutuhkan ruang untukku menumpahkan keluh kesahku, mungkin pada dirimulah orang yang tepat walaupun tiada benar-benar aku mengenalmu dengan nyata terlihat dalam hariku. Aku merasakan perbedaan itu, seakan kamulah yang lebih mengerti aku dibanding dirinya. Jelas terlihat dirinyalah yang lebih lama mengenalku dibanding dirimu, alhasil justru kamulah yang seolah mengerti dan menghargai aku sebagai seorang perempuan. Kasar mungkin aku berkata bahwa dia tidak menghargai aku sebagai perempuan, mungkin lebih tepatnya dia tidak bisa atau belum bisa menghargai aku sebagai perempuannya. Namun rasaku tetap sama, aku tetap mencintai rasa ini yang kutujukan hanya untuk dirinya. Aku terlanjur mencintai perasaan yang sudah sedari lama kupupuk dan tiada kuasa untuk mengubahnya sebatas teman belaka.
Dear kamu, Mas Reyno…
Aku terbiasa menikmati hariku sejak akhir SMA denganmu, meski tak terlihat dari sini aku merasa sudah merasa memilikimu dari kejauhan yang wajahmu tiada bisa kusimpan dengan jelas ketika kali pertama kita berjabat tangan tanda perpisahan. Terkadang, aku merasakan perasaan-perasaan aneh yang tiada bisa kujamah dengan jelas persisnya apa. Aku hanya kuasa mengartikan itu hanyalah suka belaka, tiada kekal adanya. Membawa-bawa namamu bercampur dalam hatiku, namun tetap tidak bisa menyamai posisi teratas dihatiku. Bukan menganggapmu sebagai pelarian atau pelampiasan, hanya saja aku bisa merasa special dan berbeda ketika aku tiada berputus komunikasi denganmu. Aku bisa merasa tenang, ketika kata demi kata yang bisa kamu rangkai dalam pesanmu itu, ketika suara tak pernah bermakna, dan katalah yang menjadi utama dalam perbincangan panjang kita. Kamu membuat aku istimewa dengan nasihat-nasihat indahmu itu.
Ketika aku terjatuh, entahlah hal apa yang bisa mendorongmu untuk bertanya hal yang terjadi padaku dan berhasil membuat aku tersenyum renyah ketika kamu berkata, “Vrila yang aku kenal, udah biasa dengan jatuh bangun kok”. Singkat memang, namun aku begitu bangga mempunyai seseorang dari kejauhan yang dengan mudahnya bisa memahami apa yang aku alami tanpa aku menuangkannya.
Kamu selalu berhasil membuat aku nyaman, ketika tiada tempat lain yang bisa mengukir kenyamanan dihatiku. Tapi sama seperti sebelumnya, rasaku tetap sama seperti dulu. Ada yang lama yang tetap mengisi hati dan seperti enggan berganti. Aku justru tiada bisa mengubahnya, menggantikan posisinya dengan dirimu yang seharusnya sudah sedari aku mengenalmu, sejak saat itu harusnya dirinya sudah kutegaskan aku gantikan dengan dirimu yang jauh lebih sempurna dan lebih bisa melukis kenyamanan nan indah.
Atas perasaan-perasaan yang terasa basi disini, direlung hati, atas dasar perasaan aku bisa mengistimewakan yang sederhana dan menyederhanakan yang terlihat istimewa. Aku bisa menyeimbangkan dimana harus kutaruhkan dirimu dan dimana harus kusimpan dirinya. Aku sudah bisa menyeimbangkan semua rasa yang bermula terombang-ambing dalam balutan asa. Semenjak aku tau ada rasa yang istimewa dihatimu, semenjak aku memahami perasaan terdalam yang aku miliki dengan dirinya yang kusebut bintang direlung, semenjak aku mengerti ada cinta terdalam yang kau pupuk sedari dulu dalam bisunya bibirmu, semenjak cinta yang menjadikan rasa yang dimiliki hati kita masin-masing terlihat istimewa, semenjak saat itu aku tau aku tetap mencintainya dan mengistimewakan kamu. Bersamaan dengan itu, akupun mulai memahami ada cinta yang tersirat dalam diam yang tak mampu kujamah sejauh jarak yang memisah teruntuk dia, wanita sederhana yang begitu kamu cinta. Semenjak itulah aku mulai berani memanggilmu sahabat, sebatas sahabat dimana jarak menjadi istimewa.
Diposting oleh






0 komentar:
Posting Komentar