0

Teruntuk Sahabat di Pulau Sebrang, Lombok (Part I)


        Aku merasa basi dengan perasaan yang kukenali kali pertama menginjak bangku SMP. Sampai pada rasa yang sudah kuanggap mati, ku akui aku gagal untuk jatuh cinta lagi. Mencintai sosok lelaki yang entah siapapun yang saat itu berhasil membuat hati ini bergetar sejadi-jadinya. Aku mulai membenci perasaan yang kucintai dulu, kuanggap istimewa sejak rasa menjadi pemeran utama didalamnya. Hingga kuberjalan bersamaan dengan arus, aku tetap mencintai satu rasa yang sama. Dia, perasaan yang sudah lama bahkan enggan aku menghapusnya. Kadang kubiarkan rasa ini menjadi-jadi sampai titik tertinggi, bersamaan dengan itu rasa itupun lelah dan memutuskan untuk mengurangi sedikit demi sedikit rasa dan memupuk asa dalam diam. Sama halnya dengan ketika kita melemparkan bola kelangit, saat ia mencapai titik tertinggi, ia akan berhenti sejenak lalu memutuskan untuk jatuh kebawah mengurangi sedikit demi sedikit ketinggian.

Singkat saja, aku bertemu denganmu. Entah bagaimana Tuhan menunjukkan jalan, peta, arah, ahh entahlah apapun itu, Tuhan mempertemukan kita dalam ruang dan waktu, sekejab saja. Tentang bagaimana perasaan yang pernah ada, yang tertulis sempurna dihati ini, yang jalannya tiada enggan kuhapus, rasa ini masih sama. Bahkan ketika kita sama-sama bertemu dan menyorot jauh pada pandangan yang penuh makna. Kita berkenalan lewat sebuah kompetisi nasional. Kita? Ahh tidak, mungkin kita hanya tidak sengaja berkenalan disana. Kita sama-sama beradu kompetisi disana, tapi tidak saling mengenal. Hanya sebatas aku finalis dan kamu lawanku sebagai finalis pula. Sebatas gue-elo.

Sayangnya, aku tak seberuntung kamu, yang dengan bangga bisa pulang membawa medali emas, yang dengan senyum sumringah bisa dijadikan oleh-oleh untuk kedua orangtuamu dan sekolahmu. Aku sebatas peraih penghargaan bukan pembawa medali emas untuk sekolahku. Tak apalah, dengan bangga hati aku bisa berdiri tegak disini, berjejer dengan para penerus bangsa, para peneliti-peneliti muda yang berhasil menyabet peraih penghargaan, sepuluh besar dari 30 finalis lainnya. Paling tidak aku tau, dengan cara ini Tuhan mempertemukan aku dan kamu.

Kamu masih ingat? Ucapan terakhirmu waktu itu? Kita memang tidak saling mengenal, hanya sebatas tau kalo kita sama-sama finalis dalam lomba itu. Namun hari terakhir disana kita berjabat tangan tanda perpisahan.
“Pamit pulang ya, hati-hati” Lisanmu dibarengi dengan senyum manis yang melukis wajahmu dan membuat aku terpesona seketika. Jelas sekali aku balas jabat tangan, tak lupa dengan lengkung bibir diwajahku.

Kita sama-sama meninggalkan satu sama lain, bukan sama-sama pergi dan tidak berkomunikasi, hanya sama-sama meninggalkan dan menemui sanak saudara yang menanti dikampung halaman kita masing-masing, menanti senyum sumringah tanda keberhasilan kita berdiri mengalahkan ribuan peserta lomba penelitian dan berjejer dideretan sepuluh besar. Betapa bangganya ayah dan ibumu, terlebih lagi sekolahmu, Reyno.

Sisa-sisa kesegaran yang kubawa sampai kekampung halamanku, sisa-sisa suasana dan tawa yang kupupuk beberapa hari saat berada disana, saat kita hanya dibatasi dinding dan mampu bertegur sama meski lewat pandangan nyata, aku merasakannya kembali disini, kampung halamanku. Barulah ketika kita sudah pulang, kita diberi kesempatan untuk saling mengenal dibatasi jarak yang membuntut sebagai penghalang pandangan nyata.

Berawal dari group facebook, group perkumpulan finalis perlombaan kita, hingga sampai nomor handphone. Kita bertegur sapa, menyapa kabar dan mengenal lebih jauh. Dan sejak saat itu, aku dan kamu barulah benar-benar mengenal satu sama lain, bukan hanya sebatas sama-sama finalis, sebatas gue-elo. Kini aku dan kamu adalah sahabat sebatas jarak sebagai pemisah. Semenjak perkenalan kita yang bisa kubilang terlambat itu, semenjak saat itu aku merasa bahagia memilki seseorang yang luar biasa peduli dibentang jarak dan ruang waktu yang berbeda. Terkadang, kala malam datang, kita sama-sama menatap langit, menikmati pancaran bintang yang sengaja Tuhan ukir, sebagai pembuktian bahwa kita sebenarnya berada dalam dimensi yang sama, hanya jarak pelengkap untuk mengukir asa agar kita bercita untuk merencanakan pertemuan kedua.

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top