Aku buru-buru memasuki Caffe tempat biasa aku dan sahabatku ketika SMA menghabiskan waktu hanya untuk ngopi bareng dan cerita-cerita, Caffe Blueberry. Dengan membawa segumpal rindu, aku menyebarluaskan aroma sedap rindu dan berjalan seperti dikejar para fans yang membuntut dibelakang. Aku baru merasakan rasanya jauh dari perempuan cerewet bernama Vlora ketika kami berdua sama-sama memutuskan untuk saling meninggalkan semenjak menyandang status mahasiswa. Dan aku pun begitu yakin Vlora baru menyadari ketidak adaan sahabat baik bernama Dearine. Aku.
Dan wow.... Perempuan cerewet itu sekarang berada didepanku. Spontan kami berdua menjerit dan menyebut nama satu sama lain sambil berlari mendekat layaknya pemeran film india, itulah cara kami melepas rindu. Semenjak kuliah, aku dan Vlora sangat jarang bertemu, 6 bulan sekali tepatnya kami baru bisa saling berbagi satu sama lain. Menceritakan hal-hal kecil dan besar yang kami berdua lalui semenjak menjadi mahasiswa. Sedang asyik bercerita ini itu, aku pun terhenti pada salah satu pertanyaan Vlora.
    "masih?" Vlora bertanya dengan lirih, kutangkap ada rasa kecemasan dari raut wajahnya.
Aku diam dan mengalihkan pandangku keluar jendela. Sembari menatap alun-alun jalanan yang dipenuhi kendaraan, ada yang terlintas dibenakku saat itu. Vlora begitu tau bagaimana peraasaanku, bahkan ketika sudah menginjak bangku kuliahpun dia masih sangat hapal bahwa sahabatnya ini masih menyimpan rasa pada sosok tanda kutip. Mungkin Vlora bisa membaca tulisan transparan didahiku, mungkin.
    "De, ngapain sih kamu betah-betahhin perasaan itu?" Vlora berkata pelan. Ada perubahan yang aku tangkap dari ucapan Vlora itu. Calm.
    "apaan si, Vlor?" Tanyaku sambil bergaya seolah ngga ngerti sama sekali. Vlor adalah panggilanku pada Vlora semenjak kami saling mengenal, rasanya malas ketika harus menambahkan 1 huruf setelah r dari kata Vlora.Sama halnya dengan Vlora yang selalu memanggilku dengan dua huruf D-E, De. 
    "Move, De! Kamu ikhlas sakit-sakitan terus gini?"
Move, iya move. Satu kata itulah yang sering sampai ketelingaku walau bukan untuk aku, dan hari ini, saat ini justru akulah yang menjadi fokus untuk mendengarkan baik baik kata MOVE. "siapa yang sakit Vlor? aku sehat kok, nggak liat aku bisa ketawa lepas gini? becandaan mulu siihh"
    "Siapa sih temen kamu yang tau betul kamu itu ada kenapa-kenapanya? 3 tahun loh De, 3 tahun bukan waktu yang singkat untuk aku kenal kamu. Dan 3 tahun itu juga bukan waktu yang singkat buat....." Vlora seketika diem. "buat kamu bertahan, De!"
Aku diem, seolah-olah saat itu Vlora menjadi hakim yang sedang berbicara dan aku menjadi orang yang dihakimi yang hanya berhak diam dan mendengarkan.
      "Hidup itu tentang perubahan De! kamu masih ngga ngerti konsep itu?"
Aku terdiam basi mendengar kata-kata Vlora yang terdengar lembut. Iya, aku mengakui bahwa aku memang masih menyimpan perasaan untuk seseorang ketika aku memasuki SMA, bersamaan ketika aku mengenal Vlora. Saat itu, aku hanya berani menyimpan perasaan itu dan menceritakan lewat kata pada Vlora meski Vlora sangat sulit mengerti bahwa aku mencintai sosok lelaki dalam tanda kutip tersebut. Menginjak tahun ke-2 aku menyimpan perasaan itu, rasaku masih sama. Ada lelaki yang mendekat, namun yang kurasa aku tak merasakan hal yang sama dengan lelaki lain itu.
     "aku ngga bisa, Vlor!" aku membuka omongan.
     "karna kamu ngga pernah nyoba, De!"
     "karna kamu ngga pernah lihat usaha aku untuk nyoba ngelupain dia, makanya kamu bilang aku ngga pernah nyoba, Vlor"
     "nggak ada yang harus kamu usahain, ngelupain dia itu bukan suatu usaha De, tapi suatu keharusan!" Vlora ngga mau kalah.
      "kamu sadar Vlor? kamu bicara gini karna kamu ngga pernah ada diposisi aku!" Aku tersenyum simpul.
Vlora diem sebentar. "3 tahun De, 3 tahun kamu mendem perasaan itu sampe akhirnya dia tau kalo kamu punya perasaan itu tapi apa yang bisa dia lakuin? dia cuma senyum-senyum kaya orang begok dan dengan bangga hati membiarkan perasaan kamu. Kamu sadar De? hal yang kamu lakuin ini, tetep mendem perasaan ke dia itu bakal bikin kamu sakit sendiri. Kamu tau, orang pertama yang salah? itu kamu De! Sekarang aku tanya, apa latar belakang kamu tetep nyimpen perasaan ini De? Lelaki diluar sana banyak De, jauh lebih baik dari dia!"
      "Rio, Vlor. Cuma Rio yang bisa bikin aku bener-bener ngerasa sempurna. Kamu tau? ngebaca pesan singkatnya bikin aku senyum-senyum sendiri, ngebayangin dia pas aku mau tidur dan ngimpiin dia, ngeliat dia dari kejauhan, nyimpen perasaan ini diem-diem. Kamu tau gimana rasanya? aku seneng Vlor". 
      "Dan apakah itu cukup buat kamu seneng, De?"
Vlora berhasil membuat aku seakan terpojok, kadang omongan Vlora masuk akal, tapi bandelnya hatiku tetap saja bertahan dengan perasaan ini.
      "Denger De, kamu ngga kasian sama hati kamu, sama diri kamu sendiri, kamu ngga ngasih kesempatan untuk merasakan seneng dengan lelaki lain yang bukan bernama Rio? Move De!"
Aku terdiam, bersamaan itu Vlora juga membuntut diam sambil menyeruput coffe manis yang sedari tadi samar-samar aroma wanginya. Kami sama-sama terdiam dan tenggelam dalam keheningan.Sementara Vlora mencari kata-kata untuk dirangkai lagi, aku bergeming dan terfokus pada sosok Rio yang sedari tadi seolah ingin dideskripsikan walau hanya lewat lamunan. 
Namanya Rio, teman satu sekolahku ketika di SMA, nggak ada yang spesial darinya, sikapnya bahkan nggak bisa aku nilai bahwa dia menganggap aku adalah seorang perempuan yang patut untuk dilindungi. Sama kayak dia merlakuin temen cewek lainnya. FLAT. 
Yang paling aku inget pas kita sama-sama ikut olimpiade mewakili SMA, dia mengikuti olimpiade fisika dan aku olimpiade astronomi. Waktu itu dijam tambahan kami seluruh siswa yang mengikuti olimpiade diminta untuk keluar dari jam belajar dikelas dan memfokuskan diri belajar untuk olimpiade. Tepat saat itu, temanku tidak masuk sekolah dan entah bagaimana persisnya akhirnya aku dan Rio terjebak dalam satu ruangan yang sama, berdua. Bukannya belajar mengenai materi masing-masing, kami berdua malah asyik ngobrol hal-hal yang nggak penting sama sekali. Yaaaaa kaya nyeritain kejadian dia di asrama malam itu, karna kebetulan Rio tinggal diasrama. Dan apapun yang aku rasain saat itu yang paling aku mengerti adalah rasa gugup yang menggerogoti kepedeanku. Aku salting. 15 menit berlalu, hentakan suara kaki dari siswa-siswa yang lain semakin mendekat dan mereka semua mendapati aku dan Rio sedang duduk berdua didalam kelas. Ledekkan-ledekkan kata "ciyeeeee" semakin bikin aku gugup dan senyum-senyum. Mungkin jika aku sedang memegang cermin saat itu, kudapati pipiku merah merona.
Bel berbunyi dan kuputuskan untuk kembali kekelasku untuk mengambil tas dan peralatan sekolah lainnya baru  memutuskan untuk pulang kerumahku. Dan wow, Tuhan ternyata mendorong Rio untuk menemaniku mengambil tasku yang tertinggal diruang kelasku. Sedetik dari tawaran Rio itu, aku langsung mengiyakannya. Kamipun berjalan bersama menyusuri kelas yang sudah mulai kosong dan tiada bersua. Aku tersenyum sumringah.
    "aku yakin saat ini pun kamu lagi ngebayangin Rio. Iya kan De?" pertanyaan Vlora memecah lamunanku.
Buru-buru aku mengernyitkan kening dan tersenyum sinis pada Vlora. Aku diam.
    "Gini deh De, aku tanya deh sama kamu, sampe kapan kamu bakal nungguin dia? sampe dia selesai kuliah disana lalu balik kesini dan menggandeng kamu, gitu?"
Aku nggak ngejawab sedikitpun.
    "Trus apa yang terjadi kalo ternyata sepulang dia nyari ilmu disana, 4 tahun dia bakal balik lagi kesini dia udah nggandeng cewek dan udah mutusin bakal nikah sama cewek itu. Apa yang kamu dapat De? selembar undangan yang tertulis lengkap nama dia dan perempuannya." Tegas Vlora.
Aku masih membungkam.
    "Bisa nggak jangan jawab pertanyaan aku dengan bisu, De? aku serius! Hal buruk yang kemungkinan bakal terjadi, pertama dia 4 tahun kuliah disana, mustahil dia nggakk punya cewek atau gebetan. Kedua, dia lulus dan dia balik kesini tapi sudah menyandang seorang cewek yang teramat dia cinta. Ketiga dia bakal menetap disana dan ambil kerja disana. Dan terakhir, setelah dia menetap disana, kamu bakal jadi orang yang terlupakan, De!" Kali ini suara Vlora mulai memuncak.
    "aku nggak tau, Vlor" aku tertunduk dengan linangan air mata yang sedari tadi ingin kujatuhkan.
Vlora mendesis kecewa. "sekarang kamu lihat diri kamu sendiri De, kamu rela nangisin dia, sedih karna dia, tetep mikirin dan nyimpen perasaan kedia sedang dia disana, kita nggak pernah tau dia disana kaya apa, Bogor De, jauh dari pandangan kamu. Jarak kalian itu jauh, dan nggak akan mungkin bisa menumbuhkan benih cinta dihati dia. Oke deh kalo kalian tetep kontakkan dan berharap dia menjadikan kamu temen perempuan terdekat atau bahkan bisa jadi lebih, tapi kamu nggak tau kan ada berapa banyak cewek yang nongkrong di inboxnya? nggak kan?"
Spontan kuangkat wajahku dan menatap lurus kemata Vlora.
   "Maaf" Satu kata menyusul dari mulut Vlora. 
Kutundukkan lagi wajahku, sekarang yang aku rasa linangan air mata dikelopakku terasa penuh dan akan segera terjatuh. buru-buru kutundukkan dan mengedip-ngedipkannya beberapa kali agar tidak jadi terjatuh. Terlambat, air itu perlahan menetes.
   "Tuh kan, netes". Vlora manyun.
Aku menghela nafas panjang dan... "Gini deh Vlor, kamu percaya cinta sejati?"
Vlora mengangkat bahu dan aku menyepakati bahwa Vlora tak begitu mempercayai itu.
   "Tuhan udah punya rencana lain buat aku, Vlor"
   "Lah terus?"
   "Rasa sakit ini misal, suatu saat akan dibalas dengan senyum yang berlimpah. Aku percaya Rio itu cinta sejati aku"
   "cinta? bullshit!" Vlora mengucapkannya dengan lantang, sedetik kemudian berpasang-pasang mata dari sudut kiri, kanan memerhatikan kami dengan kening berlipat. Aku dan Vlora saling memandang dan membalas satu persatu sorotan tajam para penikmat Caffe lalu kembali saling memandang, terdiam. Dua detik kemudian, kami memecah suara dengan cekikikkan besar yang seolah terlihat konyol dengan sisa-sisa jejak air mata yang masih membekas dippiku. "huahahahhahhaha"
TO BE CONTINUED....... 
    
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diposting oleh






0 komentar:
Posting Komentar